Rabu, 03 April 2013

BAB IV Hukum Perikatan


1.      Pengertian hukum perikatan

PENGERTIAN HUKUM PERIKATA
a.         Perikatan

Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya: 

Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban/prestasi (Dipakai oleh Subekti dan Sudikno)
Perutangan: suatu pengertian yang terkandung dalam verbintenis. Adanya hubungan hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri Soedewi, Vol Maar, Kusumadi).
Perjanjian (overeenkomst): dipakai oleh (Wiryono Prodjodikoro)
 b.        Hukum Perikatan

Hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam bidang harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi suatu prestasi.

Menurut pasal 1313 persetujuan ialah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya kepada satu orang lain atau lebih, undang-undang (pasal 1338) ayat 1) menjamin kepada kita kebebasan membuat persetujuan dengan bentuk apapun dengan menyimpang dari bentuk tercantum dalam undang-undang asal memenuhi syarat-syarat syahnya. Persetujuan dengan bentuk apapun sesuai dengan pasal 1320 dianggap sebagai (Hukum Pelengkap).


2.      Dasar Hukum Perikatan

     DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.            Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.            Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.            Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.            Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.            Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.            Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
asas hukum perikatan
Diposkan oleh velanthin di 06:24
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

• Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

• Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah

1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri

Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1.            Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.

1.            Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1.            Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2.            Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.            Mengenai suatu hal tertentu
4.            Suatu sebab yang halal

sumber:http://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/

3.      Azas-azas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

sumber:http://maypuspitasari.blogspot.com/2012/04/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian-asas.html

4.      Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.

Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
peralihan resiko;
membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
1. Membayar Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.

Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.

Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga.

Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.

2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.

Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:

“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.

Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.

3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :

Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.

4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.

Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
pemenuhan perjanjian;
pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
ganti rugi saja;
pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.




5.      Hapusnya Perikatan

Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:[1]

Pembayaran.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
Pembaharuan utang (novasi).
Perjumpaan utang atau kompensasi.
Percampuran utang (konfusio).
Pembebasan utang.[2]
Musnahnya barang terutang.
Batal/ pembatalan.
Berlakunya suatu syarat batal.
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,  kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan  berakhirnya perikatan karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.

Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan beberapa item yang penting,  perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:

Pembayaran

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal  1382 BW sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan secara yuridis tekhnis.

Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.

Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.

Konsignasi

Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
 Novasi
 Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:

Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif)
Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi perjumpaan utang.
Konfusio 
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW  s/d Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar