1.
Pengertian hukum perikatan
PENGERTIAN HUKUM PERIKATA
a. Perikatan
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation
(Perancis, Inggris)Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya
Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu
kewajiban/prestasi (Dipakai oleh Subekti dan Sudikno)
Perutangan: suatu pengertian yang terkandung dalam
verbintenis. Adanya hubungan hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri
Soedewi, Vol Maar, Kusumadi).
Perjanjian (overeenkomst): dipakai oleh (Wiryono
Prodjodikoro)
b. Hukum Perikatan
Hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak di
dalam bidang harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi
dan pihak lainnya wajib memenuhi suatu prestasi.
Menurut pasal 1313 persetujuan ialah suatu perbuatan hukum
dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya kepada satu orang lain
atau lebih, undang-undang (pasal 1338) ayat 1) menjamin kepada kita kebebasan
membuat persetujuan dengan bentuk apapun dengan menyimpang dari bentuk
tercantum dalam undang-undang asal memenuhi syarat-syarat syahnya. Persetujuan
dengan bentuk apapun sesuai dengan pasal 1320 dianggap sebagai (Hukum
Pelengkap).
2.
Dasar Hukum Perikatan
DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah
perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi
menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga
sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1. Perikatan
( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
asas hukum perikatan
Diposkan oleh velanthin di 06:24
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP
Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah
bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam
Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat
adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para
pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan
tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan
terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak
akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata,
yakni :
1. Azas
Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala
sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’,
artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk
menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka
sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
1. Azas
Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak
memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan
diri, yaitu :
1. Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2. Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai
suatu hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal
sumber:http://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/
3. Azas-azas dalam Hukum Perikatan
4. Wanprestasi dan akibat-akibatnya
3. Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP
Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah
bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas.Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para
pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan
tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum.
sumber:http://maypuspitasari.blogspot.com/2012/04/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian-asas.html
4. Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan,
perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang,
misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa,
pinjam pakai.
perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk
membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian
untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang
lain.
Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang
dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang
debitur dapat berupa empat macam :
tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau
untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas
waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila
prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu
yang pantas.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa
ada empat macam, yaitu:
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan
singkat dinamakan ganti-rugi;
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan
perjanjian;
peralihan resiko;
membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan
hakim.
1. Membayar Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan
bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang
sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan
suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan
terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa
gedung, sewa kursi dan lain-lain.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah
yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga
merusak perabot rumah.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang
sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli
barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari
harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu
dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di
atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan
keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang
diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh
dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga
yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian
dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena
sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan
karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar
mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang
terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung
dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat
dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran
sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu
terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang
berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus
dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya,
ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak
dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak
kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan
itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak
sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu
harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam
pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam
perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum,
tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu
dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk
memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka
waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim,
bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan
kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif,
secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi
“Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan,
“Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya :
kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan
beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu.
Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan
perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka
permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal
1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi
kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli
barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum
diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka
kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si
penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi
keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan
Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si
debitur yang lalai untuk melakukan :
pemenuhan perjanjian;
pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
ganti rugi saja;
pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
5.
Hapusnya Perikatan
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang
dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW
hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara
hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:[1]
Pembayaran.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi).
Pembaharuan utang (novasi).
Perjumpaan utang atau kompensasi.
Percampuran utang (konfusio).
Pembebasan utang.[2]
Musnahnya barang terutang.
Batal/ pembatalan.
Berlakunya suatu syarat batal.
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena
undang-undang dan perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya
perikatan juga demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti
pembayaran, novasi, kompensasi,
percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat
batal. Sedangkan berakhirnya perikatan
karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan
daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka
perlu dikemukakan beberapa item yang penting,
perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu
perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:
Pembayaran
Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih
lanjut dalam Pasal 1382 BW sampai dengan
Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan secara
yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh
debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang
atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya
dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang
bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah
masalah subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur)
oleh seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang
dibayar, muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama.
Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga
hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang
lama.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak
pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat
menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang
baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan
orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang
kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si
berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif)
Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW
s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan
rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar setengah tahun
terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A
meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya
sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi
perjumpaan utang.
Konfusio
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436
BW s/d Pasal 1437 BW. Konfusio adalah
percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai
kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu
testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin
dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.