Rabu, 03 April 2013

BAB IV Hukum Perikatan


1.      Pengertian hukum perikatan

PENGERTIAN HUKUM PERIKATA
a.         Perikatan

Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian, di antaranya: 

Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban/prestasi (Dipakai oleh Subekti dan Sudikno)
Perutangan: suatu pengertian yang terkandung dalam verbintenis. Adanya hubungan hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri Soedewi, Vol Maar, Kusumadi).
Perjanjian (overeenkomst): dipakai oleh (Wiryono Prodjodikoro)
 b.        Hukum Perikatan

Hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak di dalam bidang harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi suatu prestasi.

Menurut pasal 1313 persetujuan ialah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya kepada satu orang lain atau lebih, undang-undang (pasal 1338) ayat 1) menjamin kepada kita kebebasan membuat persetujuan dengan bentuk apapun dengan menyimpang dari bentuk tercantum dalam undang-undang asal memenuhi syarat-syarat syahnya. Persetujuan dengan bentuk apapun sesuai dengan pasal 1320 dianggap sebagai (Hukum Pelengkap).


2.      Dasar Hukum Perikatan

     DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.            Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.            Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.            Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.            Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.            Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.            Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
asas hukum perikatan
Diposkan oleh velanthin di 06:24
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

• Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

• Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah

1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri

Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.

2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian

Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

3. Mengenai Suatu Hal Tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.

4. Suatu sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1.            Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.

1.            Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1.            Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2.            Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.            Mengenai suatu hal tertentu
4.            Suatu sebab yang halal

sumber:http://aramayudho.wordpress.com/2012/04/07/dasar-hukum-perikatan/

3.      Azas-azas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

sumber:http://maypuspitasari.blogspot.com/2012/04/asas-asas-dalam-hukum-perjanjian-asas.html

4.      Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas.

Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
peralihan resiko;
membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
1. Membayar Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.

Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.

Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.

Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga.

Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.

2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.

Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:

“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.

Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.

3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :

Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.

4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.

Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
pemenuhan perjanjian;
pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
ganti rugi saja;
pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.




5.      Hapusnya Perikatan

Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:[1]

Pembayaran.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
Pembaharuan utang (novasi).
Perjumpaan utang atau kompensasi.
Percampuran utang (konfusio).
Pembebasan utang.[2]
Musnahnya barang terutang.
Batal/ pembatalan.
Berlakunya suatu syarat batal.
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,  kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan  berakhirnya perikatan karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.

Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan beberapa item yang penting,  perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:

Pembayaran

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal  1382 BW sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan secara yuridis tekhnis.

Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.

Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.

Konsignasi

Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
 Novasi
 Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:

Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif)
Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi perjumpaan utang.
Konfusio 
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW  s/d Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.


BAB III Hukum Perdata


1.      Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

Yang dimaksud dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU Kepailitan.
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848.
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.

KUH Perdata terdiri atas empat 4 bagian, yaitu:
Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
Buku 2 tentang Benda
Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs







2.      Sejarah Singkat Hukum Perdata

SEJARAH HUKUM PERDATA
1. HUKUM PERDATA BELANDA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2. HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsaIndonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukumIndonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman RIpada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesiasebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
1.                  Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
2.                  Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
3.                  Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
4.                  Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
5.                  Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
6.                  Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
7.                  Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan
5. HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di Indonesiaberdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan nasional, yaitu :
a. Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.
b. Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
c. Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
d. Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaituIndonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam masyarakat.
e. Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.
SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA
1. Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan pembentukanya. Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan dimuat dan dapat dibaca .
2. Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia Belanda yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang – undang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti pembentukannya adalah pembentukan undang – undang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga aturan peralihan.Atas dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya B. W ( KUHPdt ). Sumber dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti formal.
3. Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana dirumuskan ketentuan Undang-Undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb.1847-23 memuat B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut sumber dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di dalam Staatsblad. Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil saja dalam Lembaran Negara RI.
KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA
1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan, hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara. Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu, mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang & peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :
q meliputi bidang hukum tertentu
q tersusun secara sistematis
q memuat materi yang lengkap
q penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap , artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi berasal dari kata COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.
2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
q kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
q tiap buku tersusun atas bab – bab
q tiap bab tersusun atas bagian – bagian
q tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
q tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi sebagai berikut :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I. Buku I mengenai Orang
II. Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt. Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan, sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.
1. Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena ketentuan Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban agar hukum dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua orang atau setiap orang wajib mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak patuhi akan disebut sebagai pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa dan bersifat sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan baik dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum dengan berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat & prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b. Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c. Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar kerugian kepada yang dirugikan.
d. Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli
Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat monogami.
b. Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh dengan wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak atas status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c. Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.
Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada paksaan], kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan kewajiban sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun kewajiban hukum karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi Undang-Undang menciptakan hubungan hukum antara para pihak. Hubungan mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya peristiwa hukum karena :
a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak
Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik adanya hak dan kewajiban
2. Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang. Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan. Ada 2 jenis :
q perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf melahirkan kewajiban dan hak;
q perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang moral dan kesusilaan.
Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di depan Notaris.
3. Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan siapa sebenarnya berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka hakim karena jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim bersifat memaksa artinya jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak mematuhinya hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu dengan bantuan alat negara.
4. Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan realisasi kewajiban hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu [1] tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan hak timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila kedua belah pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi belum dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak telah melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak melaksanakan kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang mengakibatkan tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.



3.      Pengertian & Keadaan Hukum Di Indonesia


PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA


Yang dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tetapi oleh Karena perkataan sipiil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum Privat materiil ( Hukum Perdata Materiil ).
Dan pengertian dari Hukum Perdata ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antara perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan seseuatu pihak secara timbale balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping hukum privat materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP ( Hukum Acara Perdata ) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Di dalam pengertian sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.


Keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia.

Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakana masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :

1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
2. factor hostia yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
• golongan eropa dan yang dipersamakan.
• Golongan bumi putera ( pribumi / bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan.
• Golongan timur asing ( bangsa cina, India, arab ).

Dan pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas .
Adapun hukum yang diperlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
• Bagi golongan eropa dan yang dipersamakan berlaku huku perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas konkordinasi.
• Bagi golongan bumi putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
• Bagi golongan timur asing berlaku hukum masing-masing , dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu saja.

Peraturan – peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :

• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen ( staatsblad 1933 bno 7.4 ).
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.

Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga Negara , yaitu :

• Undang-undang hak pengarang ( auteurswet tahun 1912 ).
• Peraturan umum tentang koperasi ( saatsblad 1933 no 108 ).
• Ordonansi woeker ( saatsblad 1938 no 523 ).
• Ordonansi tentang pengangkutan di udara ( staatsblad 1938 no 98 ).

sumber:http://dedefadhillah.blogspot.com/2012/03/hukum-perdata-pengertian-dan-keadaan.html


4.  Sistematika Hukum Perdata Di Indonesia
     SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Sistem hukum perdata di Indonesia bersifat pluralism (beraneka ragam). Keanekaragaman ini sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan adanya Pasal 163 IS dan Pasal 131 IS.
Pada pasal 163 IS disebutkan bahwa golongan penduduk di Indonesia dibagi 3, yaitu:
Golongan eropa
Golongan timur asing
Golongan bumi putera
Pasal 131 IS megatur mengenai hukum yang berlaku bagi golongan penduduk tersebut.
Untuk golongan eropa berlaku hukum perdata eropa (BW)
Untuk golongan timur asing tionghoa berlaku seluruh hukum perdata eropa dengan beberapa pengecualian dan tambahan. Untuk golongan timur asing bukan tionghoa berlaku hukum perdata eropa dan hukum adatnya masing-masing
Untuk golongan bumi putera berlaku hukum adatnya masing-masing, kecuali yang mengadakan penundukan secara sukarela berdasarkan S. 1917 No. 12, yaitu:
a. Tunduk pada seluruh hukum perdata eropah
b. Tunduk pada sebagian hukum perdata eropa
c. Tunduk pada perbuatan tertentu
d. Tunduk secara diam-diam
Hukum Perdata/BW mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 mei 1848 dengan berlakunya asas konkordansi/asas persamaan.

Sistematika Hukum Perdata dibagi menjadi beberapa bagian, dalam beberapa bagian Buku, yaitu:
Buku 1, Tentang Orang
Buku 2, Tentang Benda
Buku 3, tentang Perikatan
Buku 4, Tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa.
Menurut beberapa ahli hukum sistimatika ini salah, karena masih banyak
kelemahan didalamnya. Kelemahan sistimatika hukum perdata ini adalah ;
Pada Buku 2, ternyata mengatur (juga) tentang hukum waris. Menurut penyusun KUHPer, hukum waris dimasukkan KUHPer karena waris merupakan cara memperoleh hak milik. Ini menimbulkan Tindakan Kepemilikan : Segala tindakan atas sesuatu karena adanya hak milik (Menggunakan, Membuang, Menjual, Menyimpan, Sewakan, dll).
Pada Buku 4, tentang Pembuktian dan Daluwarsa, KUHPer (juga) mengatur tentang Hukum Formil. Mestinya KUHPer merupakan Hukum Materiil, sedangkan Hk. Formil nya adalah Hukum Acara Perdata.


BAB II Subyek dan Obyek Hukum



1.      Subyek Hukum 
           Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi). Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.


1. Manusia (naturlife persoon) Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang “tidak cakap” hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. seperti:

1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.

2. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.

2. Badan Hukum (recht persoon) Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Subyek_hukum

Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).

Yang membedakan keduanya adalah bahwa manusia Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu;n Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata) disebut juga Teori Fiksi, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang –orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah ; orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata). Namun ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata telah dihapus sebagian, yang berkaitan dengan wanita sebagai subyek hukum, oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung. Sehingga wanita dewasa pun sekarang dianggap sebagai subyek hukum juga.

Sedangkan pada badan hukum, tidak serta merta memperoleh status sebagai subyek hukum, namun melalui proses pendaftaran hingga pengesahan.

Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Salim HS, SH, Ms; bahwa teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif berkaitan keberadaan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum adalah Teori Konsensi dimana beliau bahwa berpendapat badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki kepribadian hukum (hak dan kewajiban dan harta kekayaan) kecuali di perkenankan oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri.

Kalimat “diperkenankan” diartikan sebagai pengesahan oleh Negara melalui Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) dan Pengadilan Negeri.

Berdasarkan teori fiksi (Pasal 2 KUHPerdata), bahwa setiap bayi yang belum dilahirkan telah memiliki hak. Artinya bahwa seluruh manusia pada prinsipnya telah menjadi subyek hukum, namun yang kemudian dikecualikan oleh UU adalah yang dianggap tidak cakap / tidak mampu. Sehingga yang membedakan antara subyek hukum yang cakap dan subyek hukum yang tdk cakap adalah berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab. Bahwa subyek hukum yang tidak cakap tdk dpt dikenakan tanggung jawab secara langsung namun melalui pengampu atau curatele nya.

Manusia sebagai Subyek Hukum, berakhir sebagai Subyek Hukum apabila:

1. Telah meninggal dunia
2. Telah dinyatakan oleh UU bahwa tidak mampu bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata

Subyek Hukum yang berbentuk Badan Hukum, berakhir apabila:

1. Membubarkan dirinya; atau
2. Telah dinyatakan berakhir dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht)

Yang perlu ditegaskan pertama kali adalah bahwa jangan sampai pemahaman perikatan bercampur aduk dengan pemahaman perjanjanjian.
Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perjanjian (overeenkomst). Perikatan adalah sebagai suatu hubungan hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang lahir baik karena adanya suatu persetujuan (Pasal 1338 KUHPerdata) maupun karena undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata).
Sehingga “perikatan” lebih bersifat abstrak, sedangkan perjanjian bersifat “nyata”. Karena perikatan hanya merupakan bentuk dari suatu hubungan hukum antara para pihak.

Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan sebagai berikut:
“Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.
Sehingga untuk perbuatan melanggar hukum tersebut maka dapat dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPer yang menjelaskan sebagai:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Contoh: Si A sedang memarkirkan kendaraannya di sebuah parkiran di suatu Mall, karena si A parkir mundur dan kurang hati-hati, Si A menyenggol mobil Si B yang telah parkir terlebih dahulu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, Si B dapat menuntut Si A untuk memberikan ganti rugi pada Si B, atas kerugian yang diderita oleh Si B yang dikarenakan perbuatan Si A.

Sumber perikatan terdiri dari dua jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Perikatan yang bersumber dari Persetujuan para pihak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

b. Perikatan yang bersumber dari Undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1352 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut:
“perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang”.
Dan ditegaskan pula di dalam Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan sebagai berikut:
“Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.
Sehingga perikatan dapat saja timbul karena perbuatannya yang bersumber dari UU atau karena perbuatannya yang melanggar UU (Perbuatan Melawan Hukum)

Sebelum membahas lebih jauh, maka suatu perjanjian harus dinyatakan terlebih dahulu apakah perjanjian tersebut sah atau tidak.
Maka untuk perjanjian dapat dinyatakan sah, apabila dipenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan
3. Suatu hal tertenu
4. Suatu sebab yang halal

Bila kemudian, unsur-unsur terpenuhi, maka dpt diberlakukan Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap persetujuan (perjanjian) berlaku bagi UU yang membuatnya. Bila kemudian perbuatan melanggar perjanjian tersebut menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil, maka dapat menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata untuk menuntut ganti kerugian.

Maka berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata, dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk menerbitkan Surat Perintah atau Penetapan Pengadilan, agar yang melanggar suatu perjanjian melakukan pemenuhan prestasinya atau kewajibannya.
http://visimediapustaka.com/tj-hukum/mengenal-subyek-hukum.html

Perbedaan badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum

Bahwa tidak semua badan usaha merupakan suatu badan hukum, disini kami akan sedikit memberikan penjelasan secara singkat mengenai perbedaan antara badan usaha yang telah berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, sebagai berikut:

Badan Usaha Yang Berbadan Hukum :

Subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri ,karena ia telah menjadi badann hukum yang juga termasuk subyek hukum di samping manusia.

Harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya.Akibatnya kalau perusahaannya pailit, yang terkena sita hanyalah harta perusahaan saja (harta pribadi pengurus /anggotanya tetap bebas dari sitaan)

Badan usaha yang termasuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Koperasi, Perum, Perjan, Persero dan Yayasan.

Badan Usaha Yang Bukan Badan Hukum :

Subjek hukumnya adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi bukan badan hukum itu sendiri karena ia bukanlah hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum.

Harta perusahan bersatu dengan harta pribadi para pengurus/anggotanya. Akibatnya kalau perusahaannya pailit, maka harta pengurus/anggotanya ikut tersita juga.

Badan usaha yang bukan badan hukum adalah Firma, CV

Kewenangan menuntut dan dituntut

Pada perusahaan bukan badan hukum, yang bertindak sebagai subjek hukum adalah orang-orangnya dan bukan perkumpulannya sehingga yang dituntut adalah orang-orangnya oleh pihak ketiga.

Pada perusahaan berbadan hukum, yang bertindak sebagai subjek hukum adalahperkumpulannya artinya pihak ketiga dapat menuntut perkumpulannya namun pihak ketiga tidak bisa menuntut masing-masing orangnya.

Harta kekayaan

Harta kekayaan dalam perusahaan yang berbadan hukum adalah terpisah, artinya dipisahkan dari kekayaan anggotanya. Sehingga bila terjadi kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi/pelunasan utang hanya sebatas pada kekayaan perusahaan.

Harta kekayaan dalam perusahaan yang tidak berbadan hukum adalah dicampur, artinya bila terjadi kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi /pelunasan utang maka harta kekayaan pribadi dapat menjadi jaminannya. Dengan kata lain, pertanggung jawabannya pribadi untuk keseluruhan.

Badan hukum sebagai subjek hukum dapat melakukan perbuatan hukum untuk mencapai suatu tujuan. Beberapa pertanyaan yang mungkin terjadi:

Siapa yang mewakili badan hukum?
Karena badan hukum itu tidak berjiwa maka untuk melakukan perbuatan hukum membutuhkan bantuan manusia biasa (sebagai wakil) dengan berdasar pada perjanjian (bukan undang-undang) dan hal ini biasanya tercantum dalam AD/ART.

Siapa yang dimaksud dengan manusia biasa? Manusia biasa adalah manusia yang cakap secara hukum sehingga dia dapat bertindak sebagai organ dari badan hukum yang bersangkutan atau dengan kata lain sebagai pengurus (Pasal 1655 BW). Manusia yang cakap secara hukum, yaitu:

Orang dewasa (masing-masing aturan berbeda-beda).

Sehat akal pikirnya (tidak ditaruh di bawah pengampuan).

Tidak dilarang undang-undang.

Bagaimana dengan batas kewenangannya? Manusia biasa kewenangannya dibatasi dengan undang-undang dan AD/ART.

Bagaimana tanggung jawab organ dalam kapasitas sebagai wakil dari badan hukum tersebut apabila terjadi perselisihan?

Bila organ tersebut melakukan perbuatan hukum dan melanggar batas kewenangan serta berakibat merugikan pihak lain maka yang ber-tanggung jawab adalah pribadi organ tersebut.

Bila organ tersebut melakukan perbuatan hukum dan melanggar batas kewenangan serta berakibat merugikan pihak lain namun di sisi lain menguntungkan badan hukumnya atau organ yang lebih tinggi menyetujuinya (Pasal 1656 BW), maka yang harus bertanggung jawab adalah badan hukum yang bersangkutan.


sumber:http://bahesti.wordpress.com/2012/05/02/tugas-bab-2-subjek-hukum/


2.      Obyek Hukum 

Adapun jenis obyek hukum, antara lain :
Berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni
·       Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Adalah suatu benda yang sifatnya dapat diraba, dilihat, dan yang dapat dirasakan melalui panca indra, benda yang dimaksud dengan benda yang bersifat kebendaan yaitu yang terdiri dari benda berubah/berwujud. Dimana yang termaksud dengan benda yang berubah dan berwujud, yakni :
a) Benda bergerak atau tidak tetap, yaitu berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak    dihabiskan. Benda bergerak /tidak tetap ini dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu :
Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri. Contohnya : Hewan Ternak.
Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
b) Benda yang tidak bergerak
    Benda yang tidak bergerak ini dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
Dengan demikian, membedakan benda bergerak dan tidak bergerak ini penting, artinya karena berhubungan dengan 4 hal yakni :

1. Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.

2. Penyerahan (Levering)
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.

3. Daluwarsa (Verjaring)
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.

4. Pembebanan (Bezwaring)      
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia) sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.

·       Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan)
Benda tidak bergerak
Pengertian benda tidak bergerak adalah Penyerahan benda tetapi dahulu dilakukan dengan penyerahan secara yuridis. Dalam hal ini untuk menyerahkan suatu benda tidak bergerak dibutuhkan suatu perbuatan hukum lain dalam bentuk akta balik nama. dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
-  Benda tidak bergerak karena sifatnya,
Tidak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau biasa dikenal
dengan benda tetap.
-  Benda tidak bergerak karena tujuannya,
Tujuan pemakaiannya :
Segala apa yang meskipun tidak secara sungguh – sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama
Contoh : mesin – mesin dalam suatu pabrik
-  Benda tidak bergerak karena ketentuan UU,
Segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.

Badan hukum (rechts persoon) dibedakan dalam dua bentuk :
1.      Badan hukum public (public rechts persoon)
Adalah badan hukum yang didirakan berdasarkan hukum public, yang menyangkut kepentingan public, orang banyak dan Negara umumnya.
Contoh : eksekutif, pemerintahan.
2.      Badan hukum privat (privat rechts persoon)
Adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu.
Contoh : PT, Koperasi, yayasan, dan badan amal.





3.      Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan) 

Hak Kebendaan Yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
 Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit).
 Perjanjian hutang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
 Macam-macam Pelunasan Hutang
 Dalam pelunasan hutang adalah terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum dan jaminan yang bersifat khusus.
 Jaminan Umum
Pelunasan hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata.

Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya.

Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.

Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain :

Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
Jaminan Khusus

Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.

Gadai

Dalam pasal 1150 KUH perdata disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang.

Selain itu memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah di keluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu didahulukan.

Sifat-sifat Gadai yakni :

Gadai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Gadai bersifat accesoir artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang di maksudkan untuk menjaga jangan sampai debitur itu lalai membayar hutangnya kembali.
Adanya sifat kebendaan.
Syarat inbezitz telling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan pemberi gadai atau benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai.
Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
Hak preferensi (hak untuk di dahulukan).
Hak gadai tidak dapat di bagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus dengan di bayarnya sebagaian dari hutang oleh karena itu gadai tetap melekat atas seluruh bendanya.
Obyek gadai adalah semua benda bergerak dan pada dasarnya bisa digadaikan baik benda bergerak berwujud maupun benda bergerak yang tidak berwujud yang berupa berbagai hak untuk mendapatkan berbagai hutang yakni berwujud surat-surat piutang kepada pembawa (aan toonder) atas tunjuk (aan order) dan atas nama (op naam) serta hak paten.

Hak pemegang gadai yakni si pemegang gadai mempunyai hak selama gadai berlangsung :

Pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang di gadaikan atas kekuasaan sendiri (eigenmachti geverkoop).
Hasil penjualan diambil sebagian untuk pelunasan hutang debitur dan sisanya di kembalikan kepada debitur penjualan barang tersebut harus di lakukan di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan syarat-syarat yang lazim berlaku.

Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi berupa biaya-biaya yang telah dilakukan untuk menyelamatkan benda gadai .
Pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan benda gadai (hak retensi) sampai ada pelunasan hutang dari debitur (jumlah hutang dan bunga).
Pemegang gadai mempunyai prefensi (hak untuk di dahulukan) dari kreditur-kreditur yang lain.
Hak untuk menjual benda gadai dengan perantara hakim jika debitur menuntut di muka hukumsupaya barang gadai di jual menurut cara yang di tentukan oleh hakim untuk melunasi hutang dan biaya serta bunga.
Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai.
Hipotik

Hipotik berdasarkan pasal 1162 KUH perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil pengantian dari padanya bagi pelunasan suatu perhutangan (verbintenis).

Sifat-sifat hipotik yakni :

Bersifat accesoir yakni seperti halnya dengan gadai.
Mempunyai sifat zaaksgevolg (droit desuite) yaitu hak hipotik senantiasa mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada dalam pasal 1163 ayat 2 KUH perdata .
Lebih didahulukan pemenuhanya dari piutang yang lain (droit de preference) berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH perdata.
Obyeknya benda-benda tetap.
Obyek hipotik yakni :

Sebelum dikeluarkan undang-undang No.4 tahun1996 hipotik berlaku untuk benda tidak bergerak termasuk tanah namun sejak di keluarkan undang-undang No.4 tahun1996 tentang hak tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya undang-undang HT maka obyek hipotik hanya meliputi hal berikut :

Kapal laut dengan bobot 20 m³ ke atas berdasarkan pasal 509 KUH perdata, pasal 314 ayat 4 KUH dagang dan undang-undang N0.12 tahun 1992 tentang pelayaran sementara itu kapal berdasarkan pasal 509 KUH perdata menurut sifatnya adalah benda bergerak karena bisa berpindah atau dipindahkan sedangkan berdasarkan pasal 510 KUH perdata kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat pemandian yang di pasang di perahu atau berdiri terlepas dan benda-benda sejenis itu adalah benda bergerak.
Namun undang-undang No.21 tahun 1992 tentang pelayaran menyatakan kapal merupakan kendaraan air dari jenis apapun kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah air, alat apung dan bangunan air tetap dan terapung, sedangkan dalam pasal 314 KUH dagang mengatur bahwa kapal laut yang bermuatan minimal 20m³ isi kotor dapat di bukukan di dalam suatu register kapal-kapal menurut ketentuan-ketentuan yang akan di tetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri.

kapal terbang dan helikopter berdasarkan undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan dalam hukum perdata status hukum pesawat udara adalah benda tidak bergerak, dengan demikian setiap pesawat terbang dan helikopter dioperasikan harus mempunyai tanda pendaftaran yang berlaku di Indonesia.
Hak Tanggungan

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 undang-undang hak tanggungan (UUTH), hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang dan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.

Dengan demikian UUTH memberikan kedudukan kreditur tertentu yang kuat dengan ciri sebagai berikut :

Kreditur yang diutamakan (droit de preference) terhadap kreditur lainya .
Hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut atau selama perjanjian pokok belum dilunasi (droit de suite).
Memenuhi syarat spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Benda yang akan dijadikan jaminan hutang yang bersifat khusus harus memenuhi syarat-syarat khusus seperti berikut :
Benda tersebut dapat bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
Tanah yang akan dijadikan jaminan ditunjukan oleh undang-undang.
Tanah-tanah tersebut sudah terdaftar dalam daftar umum (bersetifikat berdasarkan peraturan pemerintah no 29 tahun 1997 tentang pendaftaran.
Obyek hak tanggungan yakni :

Hak milik (HM).
Hak guna usaha ( HGU).
Rumah susun berikut tanah hak bersama serta hak milik atas satuan rumah susun (HM SRS).
Hak pakai atas tanah negara.
Obyek hak tanggungan tersebut terdapat dalam pasal 4 undang-undang no 4 tahun 1996.

Fidusia

Fidusia yang lazim dikenal dengan nama FEO (Fiduciare Eigendoms Overdracht) yang dasarnya merupakan suatu perjanjian accesor antara debitor dan kreditor yang isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atau benda bergerak milik debitor kepada kreditur.

Namun, benda tersebut masih dikuasai oleh debitor sebagai peminjam pakai sehingga yang diserahkan kepada kreditor adalah hak miliknya. Penyerahan demikian di namakan penyerahan secara constitutum possesorim yang artinya hak milik (bezit) dari barang di mana barang tersebut tetap pada orang yang mengalihkan (pengalihan pura-pura).

Dengan demikian, hubungan hukum antara pemberi fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Namun, dengan di keluarkannya Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia maka penyerahan hak milik suatu barang debitor atau pihak ketiga kepada debitor secara kepercayaan sebagai jaminan utang.

Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan, sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.

Sifat jaminan fidusia yakni :

Berdasarkan pasal 4 UUJF, jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajuban bagi para pihak didalam memenuhi suatu prestasi untuk memberikan sesutau atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang sehingga akibatnya jaminan fidusia harus demi hukum apabila perjanjian pokok yang dijamun dengan Fidusia hapus.

Obyek jaminan fidusia yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun yang tidak bergerak, dan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.

Benda tidak bergerak harus memenuhi persyaratan antara lain :

Benda-benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Benda-benda tersebut tidak dibebani dengan hak hipotik, untuk benda bergerak, benda-benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak gadai.
Perjanjian fidusia adalah perjanjian yang harus dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.

Pendaftaran fidusia adalah jaminan fidusia yang lahir pada tanggal dicatat dalam buku daftar fidusia dan merupakan bukti kredutor sebagai pemegang jaminan fidusia diberikan sertifikat jaminan fidusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia.

Hapusnya jaminan fidusia yakni jaminan fidusia hapus karena hal sebagai berikut :

Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitor.
Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia