Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih
yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak
milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa
sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi
salah satu diantara keduanya
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah
dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar
negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat
ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul
antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan
pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak
dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang
bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang
terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi
kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada
lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya
secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara
di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah
untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan
pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan
sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya
tinggi (very expensive),
3. secara
umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang
memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui
penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian
sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas
cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di
pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara
pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak
berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi
mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang
mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah
compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator
memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan
terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have
may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no
the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas
mediasi:
1. bertujuan
mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada
kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh
karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang
mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian
cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud
dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian
kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara
pihak yang bersengketa.
2. Biaya
Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun,
tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara,
meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi
dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat
Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses
pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat
tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan
pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan
(no press coverage).
4. Bersifat
Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian
yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua
belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi
keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden
hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan
pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak
perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a)
informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak
mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan
kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal
sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation)
dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan
jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di
pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam
dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara
dalam dada mereka.
6. Hasil
yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi
yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang
kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of
all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah
dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa
terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak
Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama
untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot
mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan
mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian
tidak ditunggangi emosi.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial.
Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa
antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan
sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah
itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya
dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan,
mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai
atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam
Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia
dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada
tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai
conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah
gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan
mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang;
upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan
sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian
sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun
di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan
Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka
cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke
pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga
konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama;
penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua;
bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga;
apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui
kosolidasi,
4. keempat;
bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian
sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court).
Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui
proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu
ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif,
daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut
di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai
the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian
kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai
conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar
pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa
yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa
bisnis,
2. hasil
penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award
(verdict),
3. oleh karena
itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke
pengadilan,
4. dengan
demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para
pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat
diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian
selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem
ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan.
Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada
seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang
yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia
berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh
karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem
adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated).
Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan
keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi
misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur
profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan
terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar
ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat
sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para
pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar
persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar
profesional,
3. dalam
kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada
adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua
belah pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil
keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik
secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh
Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini,
perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian
sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah
memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga
RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada
tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan,
jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan
sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana
dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip
konfidensial,
3. diselesaikan
oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan
dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation,
minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain
dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah
biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan
penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan.
Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang
jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan
ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi
(b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya
saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau
minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi
mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah
sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion
quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi
adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase
dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan
waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi
timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati
atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian
bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para
pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
jujur dan adil;
4. para
pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian
sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation
simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian
sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
3. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang
terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian
sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih
banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa
perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality
arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang
dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang
tinggi.
2. Technical
arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed
arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact
and law).